Menteri BUMN yang juga mantan Direktur
Utama PT PLN Persero, Dahlan Iskan, mengungkapkan kerugian negara pada
PLN berpotensi mencapai Rp100 triliun. Angka itu jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yakni sebesar
Rp37,6 triliun.
"Saya kira itu (Rp37,6 triliun) kurang besar. Seharusnya mungkin Rp100 triliun. Kerugian itu dari sejak dulu," kata Dahlan saat ditemui usai menghadiri rapat koordinasi di Kementerian Perekonomian, Jakarta, Kamis (25/10).
Menurutnya, potensi kerugian negara di PLN tersebut bukan hanya terjadi pada masa kepemimpinannya di PLN, melainkan sudah terjadi sejak lama.
"Sejak zaman Majapahit. Sudah sejak lama itu," kelakar Dahlan tanpa menyebutkan siapa pemimpin PLN pada saat terjadi kerugian negara itu.
Menyoal ketidaktaatannya untuk mengikuti rapat kerja bersama Komisi VII tentang verifikasi temuan BPK sebanyak dua kali berturut-turut, Dahlan mengakui dirinya tidak menerima undangan dari komisi tersebut.
Bahkan Dahlan mempertanyakan apakah komisi VII sudah mendapatkan surat persetujuan dari Komisi VI (rekan kerja Menteri BUMN) agar ia dapat menghadiri raker tersebut.
"Emangnya sudah disetujui sama Komisi VI. Aku tidak tahu kalau sudah disetujui. Kalau surat itu ke kantor, aku belum tahu," tuturnya.
Ia juga menegaskan ketidakhadirannya dalam raker bersama Komisi VII, Rabu (24/10), karena ia sebelumnya sudah menjadwalkan akan berangkat ke Jambi untuk menyaksikan ternak sapi dan perkebunan milik PT Perkebunan Nusantara.
"Saya ke Jambi, urus sapi. Karena ini sudah saya jadwalkan lama," paparnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Effendi Simbolon mengungkapkan, pihaknya sudah meminta persetujuan dari Komisi VI untuk dapat menghadirkan Menteri BUMN.
Effendi menambahkan, total kerugian negara yang disebabkan PLN berdasarkan temuan BPK mencapai Rp37,6 triliun. Kerugian ini disebabkan oleh delapan proyek pembangkit 10.000 Megawatt, hingga pengadaan genset yang menyebabkan membengkaknya belanja BBM. Namun, nilai kerugian terbesar terletak pada delapan pembangkit itu.
"Saya kira itu (Rp37,6 triliun) kurang besar. Seharusnya mungkin Rp100 triliun. Kerugian itu dari sejak dulu," kata Dahlan saat ditemui usai menghadiri rapat koordinasi di Kementerian Perekonomian, Jakarta, Kamis (25/10).
Menurutnya, potensi kerugian negara di PLN tersebut bukan hanya terjadi pada masa kepemimpinannya di PLN, melainkan sudah terjadi sejak lama.
"Sejak zaman Majapahit. Sudah sejak lama itu," kelakar Dahlan tanpa menyebutkan siapa pemimpin PLN pada saat terjadi kerugian negara itu.
Menyoal ketidaktaatannya untuk mengikuti rapat kerja bersama Komisi VII tentang verifikasi temuan BPK sebanyak dua kali berturut-turut, Dahlan mengakui dirinya tidak menerima undangan dari komisi tersebut.
Bahkan Dahlan mempertanyakan apakah komisi VII sudah mendapatkan surat persetujuan dari Komisi VI (rekan kerja Menteri BUMN) agar ia dapat menghadiri raker tersebut.
"Emangnya sudah disetujui sama Komisi VI. Aku tidak tahu kalau sudah disetujui. Kalau surat itu ke kantor, aku belum tahu," tuturnya.
Ia juga menegaskan ketidakhadirannya dalam raker bersama Komisi VII, Rabu (24/10), karena ia sebelumnya sudah menjadwalkan akan berangkat ke Jambi untuk menyaksikan ternak sapi dan perkebunan milik PT Perkebunan Nusantara.
"Saya ke Jambi, urus sapi. Karena ini sudah saya jadwalkan lama," paparnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Effendi Simbolon mengungkapkan, pihaknya sudah meminta persetujuan dari Komisi VI untuk dapat menghadirkan Menteri BUMN.
Effendi menambahkan, total kerugian negara yang disebabkan PLN berdasarkan temuan BPK mencapai Rp37,6 triliun. Kerugian ini disebabkan oleh delapan proyek pembangkit 10.000 Megawatt, hingga pengadaan genset yang menyebabkan membengkaknya belanja BBM. Namun, nilai kerugian terbesar terletak pada delapan pembangkit itu.
Sumber : TvOneNews
0 komentar
Posts a comment