Jakarta - Pada akhir Oktober setahun yang lalu, detikINET
adalah salah satu media yang gencar mempublikasikan kasus sedot pulsa
yang merugikan masyarakat, yang selanjutnya membuka berbagai kelemahan
sistem industri konten di Indonesia.
Ketika kemudian kasus ini
bergulir demikian besar -- karena menyedot atensi Kementerian Komunikasi
dan Informatika (Kominfo), Polri, dan Komisi I DPR kala itu, bisnis
value added service/VAS seluler terutama yang melibatkan content
provider/CP pun seketika meredup.
Data yang penulis dapatkan
dari Indonesian Mobile and Online Content Provider Association (IMOCA)
memperlihatkan betapa industri konten yang membahana di luar negeri dan
sempat berjaya di dalam negeri, bisa tenggelam sangat cepat.
Setelah
'Black October 2011' -- kita sebut saja demikian -- anggota IMOCA
menyusut tinggal 33 dari 55 perusahaan posisi tahun lalu. Itu pun
pendapatan mereka dari bisnis konten ini diperkirakan sudah kurang dari
10%.
Sebagian bertahan karena melakukan peralihan bisnis, yang
ironisnya sebagian besar tak terkait langsung bisnis konten, misalnya di
bidang trading. Maka jika dirata-ratakan, survival rate anggota IMOCA
sejak tahun 2006 hanya 40%.
Padahal sebelumnya, secara makro, CP
terdaftar di BRTI sempat mencapai 200 perusahaan dari total 400
perusahaan. Ketika pertama dikenalkan di periode 2000-2004, bulan madu
langsung mengguyur industri ini.
Betapa tidak. Dengan sistem SMS
based yang konvensional, CP menuai untung signifikan terutama dari
penyelenggaran berbagai acara televisi, kuis SMS Piala Dunia, dan
puncaknya di gelaran Akademi Fantasi Indosiar (AFI).
Di tahun
2004, voting acara Final AFI sempat mencapai 2,5 juta SMS hanya dalam
tiga jam! Sejak tahun ini pula, masyarakat Indonesia mulai mengenal dan
akhirnya menjadi pengguna masif dari layanan ring back tone/RBT.
Namun
itu tadi, semuanya berubah setelah Oktober 2011 lalu. Kretivitas konten
berpadu teknologi seluler yang jelas menyejahterakan Jepang dan Korea
Selatan, berikutnya memasuki fase suram yang sangat memprihatinkan.
Peluang Selalu Ada!
Atas
situasi semacam itulah, kami berikhtiar menyelenggarakan seminar 'The
3rd Snapshot of Content Business in TodayĆ¢€™s ICT Industry' pada 18
Oktober 2012 lalu. Besar harapan, bisa kembali membangkitkan industri
konten di Negeri ini.
Dari pemikiran sejumlah panelis seminar,
ada dua poin penting revitalisasi industri konten ini. Pertama, industri
konten memiliki spektrum usaha amat sangat luas, tinggalkanlah konten
SMS base yang telah membuat trauma masyarakat Indonesia.
Setelah
kasus sedot pulsa yang umumnya diawali proses registrasi SMS,
sebenarnya peta industri konten dunia memasuki banyak perkembangan. Hal
ini utamanya dipicu oleh booming komputer tablet dan ponsel cerdas.
Kita
bisa melihat saat ini, khususnya di kota besar Indonesia, komputer
tablet telah menjadi kawan terbaik bagi banyak orang yang sedang
bersantai di kafe, misalnya. Riuhnya pusat keramaian tak menggoyahkan
atensi seorang pengguna komputer tablet.
Demikian pula pengguna
smartphone, betapa interaksi mereka demikian lekat dalam menggunakan
konten di dalamnya. Saking intensnya, hingga muncul idiom, 'mendekatkan
yang jauh, dan menjauhkan yang dekat'.
Karena itu, peluang bisnis
konten selalu ada! Terlebih bagi technopreneur yang bisa menawarkan
berbagai layanan penuh pengalaman baru seperti lazim ditemukan pada
komputer tablet dan smartphone.
Sebut saja sensasi bermain game
di tablet yang menarik, personal, dan freemium (baca: Angry Birds). Atau
juga layanan konten berbasis location based, berbasis motion sensor,
serta berbasis augmentend reality dan tiga dimensi.
Konten jenis
baru ini seluruhnya memiliki potensi pendapatan, terutama dari proses
langganan pengguna (subscription). Jika kemudian banyak pelanggannya,
akan muncul banyak varian bisnis mulai komersialisasi hak cipta hingga
bisnis lisensi.
Konten baru ini juga berpeluang besar jika kita
melihat karakter masyarakat Indonesia. Yakni masyarakat yang sangat
responsif pada sesuatu yang baru, aktif menggunakan perangkat mobile,
juga menjadikan gadget sebagai status sosial tersendiri.
Selain
itu, peluang muncul karena masyarakat Indonesia kini tercatat pengguna
BlackBerry terbesar di dunia (setelah sebelumnya pengguna Communicator
terbesar). Belum dengan status pengguna media sosial terbesar, dst.
Dengan
melihat variabel awal ini saja, sesungguhnya variasi layanan ke depan
makin luas. Kita bisa bicara soal konten multimedia yang turunannya
mencakup e-book, musik, video streaming, dan banyak lagi.
Kita
bisa bicara kombinasi iklan di perangkat mobile yang lebih canggih, atau
aplikasi konten pembayaran mulai dari mobile wallet, mobile payment,
mobile coupon, hingga teknologi near field communication yang sangat
praktis dan aman.
Berkaca dari Jepang & Korea
Singkat
kata, aneka konten jenis baru di dunia sebenarnya mulai banyak diadopsi
di negeri ini tepat setelah heboh kasus sedot pulsa. Karenanya, potensi
bisnis konten di Indonesia tetap terjaga karena digital life sudah
terbentuk dengan variasi dan sebaran lebih beragam.
Kedua,
pemerintah Indonesia bisa mempercepat kebijakan terkait konten dengan
belajar banyak dari kebijakan pemerintah Jepang dan Korea Selatan, yang
kebijakan kontennya masing-masing bernama Cool Japan dan Hallyu Wave.
Di
Korea Selatan, mengacu data www.trcp.biz, penjualan industri konten
2011 sudah mencapai USD 27,5 miliar sementara pasar industri konten di
negeri matahari terbit berkisar USD 162 miliar pada tahun 2009 lalu.
Pada
Cool Japan, industri animasi dan film didesain dari awal sebagai
unggulan dalam memperluas eksisting bisnisnya di dunia, sekaligus
sebagai salah satu strategi menarik potensi wisatawan mancanegara.
Mereka
sadar keunggulan ekonomi eksisting di industri otomotif dan elektronik
takkan bertahan selamanya. Karena itu, industri konten sudah dari awal
diproyeksikan sebagai pola ekonomi baru dengan target pendapatan 11
triliun yen di tahun 2020.
Atas pemikiran itulah, kebijakan
konten sepenuhnya didukung pemerintah. Kini, posisi Sony dan Nintendo
sudah jadi market leader di industri konten game global. Demikian pula
Kodansha dan Shueisha, penerbit manga, yang ditempatkan sejajar Toyota
dan Honda.
Untuk Hallyu Wave, Kementrian Ekonomi, Perdagangan,
dan Industri sengaja mendirikan Creative Industries Promotion Office
tahun 2010 guna melengkapi pendirian Korea Creative Content Agency
(KOCCA) di tahun sebelumnya.
Sokongan regulasi yang mantap
membuat pelaku industri nyaman bergerak. Kini, film drama Korea eksis di
banyak saluran utama industri broadcasting dunia, padahal di tahun
2000, harganya 1/4 dari film drama Jepang dan 1/10 film drama Hongkong.
Apalagi
jika kita mengulas musik Korea. Dengan ikon mutakhir Psy Gangnam Style,
lagunya tercatat rekor dunia sebagai video musik paling banyak 'like'
di Youtube, selain jadi jawara iTunes di 31 negara dunia, bahkan di
Amerika Serikat.
Selain sisi regulasi, strategi kedua negara ini
ada benang merahnya. Misalnya harga ekspor konten ditekan serendah
mungkin, lintas departemen menyongkongnya, aktif pada program pertukaran
budaya, eksis di media sosial, mendekatkan karakter konten ke kehidupan
masyarakat, hingga memperluas karakter konten dengan penyelenggaraan
event.
Yakinlah industri konten di Indonesia bisa bangkit,
selama kita tidak berhenti berkarya menangkap peluang baru seraya
merintis penguatan regulasi eksisting dengan merujuk mereka yang
terbukti berhasil. Kita berharap.
0 komentar
Posts a comment